Makalah Antropologi Tradisi Selametan Kematian Pada Masyarakat Jawa



A. LATAR BELAKANG

Budaya bersifat dinamis. Kebudayaan mengalami perkembangan tiap waktu. Perkembangan budaya sejajar dengan kebutuhan manusia. Hal ini dikarenakan bu-daya dan manusia tidak dapat dipisahkan, seperti dua sisi mata uang. Budaya selalu beradaptasi mengikuti kebutuhan manusia yang memakainya. Sedangkan manusia selaku pencipta kebudayaan selalu ingin menyempurnakan kebudayaannya dengan proses belajar.
Indonesia dikenal sebagai negara majemuk. Beragam kebudayaan ada di Indonesia. Salah satu kebudayaan yang ada di Indonesia bisa tampak dari sistem religi. Kebudayaan asli dari masyarakat Indonesia sudah berakulturasi dengan kebudayaan yang datang dari berbagai penjuru dunia. Tidak heran bahwa sebuah kebudayaan atau tradisi yang sering dijumpai dewasa ini ditemukan berbagai kesamaan dengan suatu agama. Begitu juga dengan ritual yang biasa dilakukan oleh masyarakat Indonesia seperti acara selamatan. Di Indonesia ada banya macam selamatan, tergantung dari tujuan yang hendak dicapai oleh orang yang melakukan selamatan. Diberbagai wilayah di Indonesia, selamatan juga disebut berbeda-beda seperti di Jawa biasa disebut wilujengan.
Menurut Clifford Geertz dalam Muhammad Tawab (2014: 3) telah membagi struktur agama Jawa menjadi tiga varian yaitu abangan, santri, dan priyayi.[1] Kelompok abangan ialah kelompok yang identik dengan sesajen karena mereka menggabungkan antara hindu dan islam. Sesajen hanya sebagai simbolik saja dalam peribadatan.
Dalam selamatan akan tampak perpaduan antara dua agama atau kepercayaan, yaitu islam dan hindu. Dalam ritus, masyarakat menggunakan peralatan yang biasa digunakan oleh penganut hindu. Sedangkan dalam proses memanjatkan doa, menggunakan doa yang berasal dari alquran dan sunnah rasul.
Masyarakat Jawa biasa melakukan selamatan atau wilujengan karena dianggap sebagai siklus kehidupan. Sejak awal kehamilan hingga kematian, masyarakat Jawa selalu melakukan selamatan pada saat-saat tertentu. Walaupun namanya berbeda-beda tiap acara selamatan, namun intinya tetap sama memohon keselamatan dunia dan akhirat, memanjatkan syukur atas semua berkah yang diberikan oleh Yang Mahakuasa, dan mendoakan kerabat yang sudah meninggal dunia. Dalam selamatan juga digunakan ubarampe sebagai simbol doa masyarakat Jawa. Bentuk ubarampe yaitu gundukan nasi kerucut yang mewakili lambang rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam pembahasan kali ini, selamatan yang dibahas mengenai penggolongan selamatan menurut lingkaran kehidupan masyarakat Jawa. Lingkaran kehidupan yang dimaksud yaitu ngupati, mitoni, puputan, sunat, pernikahan, dan kematian. Namun juga akan lebih difokuskan pada selamatan kematian. Dewasa ini, selamatan seperti yang diutarakan sebelumnya hanya digelar sang tuan rumah untuk sekadar proses adat yang harus dilakukan. Jika tidak melakukan akan dianggap tabu. Pembahasan ini diangkat sebagai topik karena masyarakat sekarang sudah tidak lagi mengetahui esensi dari selamatan yang dilakukan. Mereka hanya meniru apa yang dilakukan nenek moyang tanpa mengetahui maksud yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, kami berusaha menggali nilai-nilai yang terkandung dalam selamatan kematian agar nantinya bisa berguna untuk menambah penge-tahuan mengenai selamatan. Tidak lagi hanya sekadar melakukan tanpa mengetahui maksud yang dikandung dalam setiap prosesnya.

B. RUMUSAN MASALAH

Rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut.
1.             Apakah yang dimaksud selametan kematian?
2.             Apa tujuan diadakan tradisi upacara salamatan setelah hari kematian?
3.             Apakah nilai-nilai yang terkandung dalam selametan kematian?

C. TUJUAN 

Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
1.             Mengetahui apa yang dimaksud dengan selametan kematian.
2.             Mengetahui apa tujuan selametan kematian.
3.             Mengetahui apa saja nilai-nilai yang terkandung dalam selametan kematian.

D. MANFAAT

Manfaat penulisan makalah ini sebagai berikut.
D.1 Manfaat teoritis:
1.             Menambah wawasan tentang selamatan.
2.             Mengetahui nilai-nilai yang terkandung dalam selamatan.
D.2 Manfaat praktis:
1.             Mengetahui langkah-langkah yang benar dalam melaksanakan selamatan.

E. TINJAUAN PUSTAKA

E.1 Tradisi
Menurut Lévi-Strauss, memahami tradisi sebagai bentuk pengetahuan dalam suatu masyarakat yang diwujudkan dalam kebiasaan untuk memecahkan persoalan tertentu ataupun untuk merayakan hal tertentu.[1] Sedangkan menurut Muflih, tradisi berasal dari kata traditio yang berarti diteruskan. Dalam pengertian paling sederhana, tradisi diartikan sebagai sesuatu yang telah dilakukan sejak lama dan menjadi bagian dalam kehidupan suatu kelompok masyarakat. Hal ini selaras dengan pernyataan Koentjaranigrat yang menyatakan bahwa tradisi yaitu seluruh kepercayaan, anggapan, dan tingkah laku melembaga yang diwariskan dan diteruskan dari generasi ke generasi yang memberikan kepada masyarakatnya sistem norma untuk dipergunakan menjawab tantangan pada setiap perkembangan sosial.[1] Oleh karena tradisi tidak bisa terlepas dari kehidupan sehari-hari manusia, menurut Subiantoro dalam Suwito dkk. (2015), lingkup tradisi tidak bisa lepas dari pembicaraan mengenai manusia dan kebudayaan dalam perilakunya di masyarakat. Tradisi dipengaruhi oleh kecenderungan untuk berbuat sesuatu berulang-ulang. Tradisi dapat terbentuk dari mitos, legenda, epos, sejarah yang pernah terjadi, maupun refleksi seorang tokoh atas kehidupan yang saat itu sedang menjadi persoalan.[2] Wujud tradisi ada bermacam-macam jenisnya seperti upacara pernikahan, upacara kelahiran, upacara yang dilakukan pada saat-saat tertentu, upacara kematian, dan kesenian.

E.2 Selamatan
Menurut Koentjaranigrat, selamatan adalah suatu upacara makan bersama makanan yang diberi doa sebelum dibagi-bagikan.[3] Menurut penelitian Clifford Geertz, selamatan merupakan tradisi kaum abangan dan tidak banyak menjelaskan tentang makna simbol dalam tradisi tersebut. Namun, penelitian Andrew Beatty menjelaskan bahwa tradisi selamatan tidak hanya dilakukan kaum abangan melainkan kaum santri dan priyayi yang berintegrasi.[4]

Menurut Koentjaraningrat dalam Manusia dan Kebudayaan Indonesia (2010: 347-348) menjabarkan penggolongan selamatan sebagai berikut.
Upacara selamatan dapat digolongkan dalam enam macam sesuai dengan peristiwa atau kejadian dalam kehidupan manusia sehari-hari, yakni : (1) Selamatan dalam rangka lingkaran hidup seseorang, seperti hamil tujuh bulan, kelahiran, upacara potong rambbut pertama, upacara menyentuh tanah pertama kali, upacara menusuk telinga, sunat, kematian, serta saat-saat setelah kematian; (2) Selamatan yang bertalian dengan bersih desa, penggarapan tanah pertania, dan setelah panen padi; (3) Selamatan berhubung dengan hari-hari serta bulan-bulan besar Islam dan; (4) Selamatan pada saat-saat yang tidak tertentu, berkenaan dengan kejadian-kejadian, seperti membuat perjalanan jauh, menempati rumah kediaman baru, menolak bahaya (ngruwat), janji kalau sembuh dari sakit (kaul) dan lain-lain.
Dalam tradisi atau tindakan Orang Jawa selalu berpegang dalam dua hal, (1) Kepada pandangan hidupnya atau falsafah hidupnya yang religius dan mistis, (2) Pada sikap hidupnya yang etis dan menjunjung tinggi moral atau derajat hidupnya.[1] Oleh karena itu, masyarakat Jawa masih mempercayai hal-hal bermau mistis seperti mempercayai arwah nenek moyang dan kekuatan yang tidak nampak oleh pancaindera. Hal yang dilakukan untuk menghormati arwah nenek moyang dan kekuatan mistis adalah dengan memberi sesaji.
Sesaji sering diletakkan ditempat tertentu, seperti di bawah tiang rumah, di persimpangan jalan, di kolong jembatan, dan di bawah pohon besar, di tepi sungai, serta tempat-tempat lain yang dianggap keramat dan mengandung bahaya gaib.[2] Menurut Eka Yuliani dalam skripsinya (2010: 9) menggolongkan sesaji menjadi empat golongan, meliputi :
  1. Sesajian yang diperuntukan bagi Yangkuasa, rasul, para wali, dewa-dewa, bidadari-bidadari, kekuatan yang terdapat pada seorang ulama atau yang dihormati, setan-setan, hantu-hantu, roh-roh, dan yang lainnya, dengan tujuan menyenangkan mereka. Sesajian ini disebut sebagai Selamatan
  2. Sesajian sebagai sarana untuk menolak pengaruh setan, mahluk-mahkluk mengerikan, hantu-hantu, roh-roh jahat. Sesajian ini disebut penulakanSesajian yang dilakukan secara teratur kepada rasul-rasul, para wali, bidadari, jin-jin, kekuatan seseorang yang sudah meninggal, serta hantu-hantu yang baik, binatang, dan tumbuhan. Sesajian ini disebut wadima.
  3. Sesajian berupa makanan yang diberikan kepada para wali, malaikat untuk keselamatan roh-roh orang meninggal dan keselamatan penyelenggaraan acara, keluarga dan hartanya, Sesajian ini dinamakan sedekah.

E.3 Kematian
Menurut Sumekar Tanjung (2013), Kepustakaan Jawa tidak memandang mati sebagai lawan dari hidup. Sebab, konsep kematian dipandang sebagai akibat adanya kelahiran.[1] Dengan terlahir di dunia, manusia di anjurkan untuk menanam sebanyak-banyaknya kebaikan untuk bekal di alam kubur karena orang Jawa meyakini adanya kehidupan lain setelah kematian. Menurut Endaswara dalam Sumekar Tanjung (2013), ada tiga konsep dalam siklus hidup orang Jawa. Purwa (awal) sebagai langkah permulaan seorang manusia lahir, madya (tengah) merupakan langkah seorang manusia menghadapi kehidupan dewasa hingga tua, dan wasana (akhir) dikatakan sebagai tahap akhir seorang manusia yang sudah tua hingga menjelang kematian.
Van Gennep juga sependapat dengan Endaswara. Dalam Suwito dkk. (2015), Van Gennep mengungkapkan bahwa masyarakat memiliki tradisi/ritus unik terkait dengan daur hidup mereka, mulai dari lahir, kanak-kanak, remaja, nikah, hingga kematian.[2] Orang yang sudah meninggal dalam tradisi orang Jawa dianggap sebagai kenaikan status daripada orang yang masih hidup. Menurut Andrew Beatty dalam Ari A. Aufa dan M. Phil (2017), Segala status yang disandang semasa hidup ‘ditelanjangi’, digantikan dengan citra kehidupan luhur. Makna kematian di kalangan orang Jawa mengacu pada pengertian kembali ke asal mula keberadaan, sangkan paraning dumadi.[3] Masyarakat Jawa dengan adanya kematian menghasilkan suatu tradisi yang disebut tilik kubur. Dengan adanya tilik kubur, hubungan antara keluarga yang masih hidup dengan orang yang sudah meninggal masih terjalin. Dalam tradisi ini tersirat bahwa orang yang sudah meninggal dapat memberikan berkah kepada keluarga yang masih hidup dengan segala keberhasilan yang ditinggalkan, baik berupa harta benda maupun ilmu yang diwariskan.

F. PEMBAHASAN

1. Pengertian selametan kematian
Selametan kematian atau tahlil adalah ajaran Jawa untuk menyelamatkan jiwa orang yang sudah meninggal dunia. Ajaran ini sudah ada sebelum masuknya agama Hindu dan Budha ke Nusantara. Tentu saja dalam perjalanannya selamatan ini mendapat pengaruh ajaran Hindu dan Budha. Akan tetapi, yang diganti itu hanyalah mantranya atau doanya. Prinsip dari selamatan itu sendiri masih tetap. Dan setelah Islam masuk, berbagai tata cara dan mantra atau doanya diubah disesuaikan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam.
2. Tujuan selametan kematian
  1. Mendoakan agar si mayat diampuni dosa-dosanya.
  2. Merekatkan tali persaudaraan antar sesama Muslim, baik yang telah meninggal maupun yang masih hidup. Sejatinya, ukhuwah Islamiyah itu tidak terputus karena kematian.
  3. Untuk mengingat bahwa akhir dari kehidupan dunia ini adalah kematian, yang setiap jiwa tidak akan terlewati.
3. Nilai yang terkandung dalam selametan kematian
1. Nilai Sedekah
Makanan dan minuman yang dihidangkan di dalam berbagai bentuk ritus, di Jawa sering kali disebut selametan, yang merupakan inti dari pelaksanaan suatu ritual. Selamatan bermanfaat memberikan keselamatan diri dari bahaya atau siksaan. Selamatan menurut agama Islam tidak hanya dilakukan pada saat kesedihan, seperti pada saat meninggalnya seseorang. Menurut sebagian ulama, yang dimaksudkan dengan “waktu lapang” adalah waktu dimana seseorang berada dalam keadaan senang, gembira, bahagia, kelebihan rizki, sedangkan “waktu sempit” yaitu jika seseorang sedang ditimpa musibah atau sedang dalam keadaan kekurangan. Adapun waktu sempit disini, dapat diartikan waktu sedih yang bermakna masih dalam kelebihan harta atau bisa juga sebaliknya. Hal tersebut karena dalam kenyataannya musibah itu menimpa siapa saja yang dikehendakinya, baik orang yang kaya atau yang miskin.
2. Nilai Tolong-menolong
Dalam hal tolong-menolong pada peristiwa kematian, biasanya dilakukan oleh seseorang dengan amat rela, tanpa perhitungan akan mendapat pertolongan kembali, karena menolong orang yang mendapat musibah itu rupa-rupanya berdasarkan rasa bela sungkawa yang universal dalam jiwa makhluk manusia. Dan dasar dari tolong-menolong juga rupa-rupanya perasaan saling butuh membutuhkan, yang ada dalam jiwa warga masyarakat. Nilai tolong-menolong dalam tradisi selamatan kematian pada masyarakat terlihat dalam pelaksanaan atau penyelenggaraannya. Misalnya dalam hidangan, selama tujuh hari berturut-turut para ibu- ibu (para tetangga dan kerabat dekat di almarhum) membantu dalam persiapan hidangan (makan, minuman) undangan, karena dalam selamatan kematian tidak sedikit yang hadir kadang-kadang 100-150 orang (sesuai dengan relasi seseorang dalam bermasyarakat).
3. Nilai Ukhwah Islamiyah
Nilai ukhwah islamiyah dalam tradisi selamatan kematian pada masyarakat Jawa terdapat pada perkumpulan pada saat peringatan kematian. Dalam masyarakat Jawa, selamatan kematian yang memberikan kesempatan berkumpulnya sekelompok orang berdo’a bersama, makan bersama (selamatan) secara sederhana, merupakan suatu sikap sosial yang mempunyai makna turut berduka cita terhadap keluarga si mayat atas musibah yang menimpanya, yaitu meninggalnya salah seorang anggota keluarganya. Disamping itu, juga barmakna mengadakan silaturrahmi serta memupuk ikatan persaudaraan antara mereka. Perkumpulan berduka cita yang disertai dengan bertahlil bersama pada kehidupan masyarakat menurut kebiasaan yang selama ini berjalan dilaksanakan pada sore atau malam hari.
4. Nilai Solidaritas
Suatu ciri khas masyarakat dalam menghadapi keluarga yang berduka cita adalah bertakziyah dengan membawa bawaan untuk diberikan kepada keluarga si mayat, dengan harapan dapat membantu meringankan penderitaan mereka selama waktu berduka cita. Bentuk bawaan menurut kebiasaan dapat berupa beras, gula, uang dan lain sebagainya. Tradisi nyumbang merupakan wujud solidaritas seorang anggota masyarakat terhadap saudara, anggota, rekan kerja atau anggota masyarakat lainnya yang sedang memiliki hajatan.

0 komentar:

Post a Comment

Terimakasih atas kunjungan Anda.

Berkomentarlah dengan baik dan sopan tanpa menimbulkan rasa sara. Semoga postingan ini bermanfaat bagi kita semua.